Sabtu, 14 Januari 2012

KEADILAN DAN KEMANUSIAAN MENURUT AL-QURAN


TENTANG KEADILAN DAN KEMANUSIAAN MENURUT AL-QUR’AN
 



B A B   I
P E N D A H U L U A N

A.   Latar Belakang
Tidak dapat disangkal bahwa keadilan, dalam segala aspeknya, merupakan dambaan setiap individu dan masyarakat. Karena itulah semua agama mengajarkannya, bahkan memerintahkan manusia berlaku adil, meskipun terhadap dirinya sendiri.
Ada yang berpandangan bahwa berbuat baik dengan jalan mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan pihak lain atau membalas kejahatan dengan kebaikan lebih tinggi nilainya daripada keadilan. Pandangan ini benar dalam hubungan antarindividu, namun keliru dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu sila dari asas kehidupan bermasyarakat adalah keadilan, sedangkan sikap berbuat baik yang melebihi keadilan-seperti berbuat baik terhadap mereka yang bersalah- akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya Nabi menolak pemberian maaf bagi seorang pencuri setelah diajukan ke Pengadilan, walaupun pemilik harta yang dicuri memaafkannya.”Seharusnya pemaafan itu engkau berikan sebelum tertuduh diadili,”kata Nabi.[1]
Keadilan harus ditegakkan, kalau perlu dengan tindakan tegas. Kitab Suci Al-Quran menggandengkan ”timbangan” (alat ukur yang adil) dengan ”besi” yang digunakan sebagai senjata sebagai isyarat bahwa senjata adalah salah satu cara atau alat untuk menegakkan keadilan (baca QS 57:25).[2]
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bertujuan menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian, melakukan jasa-jasa baiknya di banyak negara.sekadar sebagai contoh, kita sebut saja Irak dan Kamboja. Ketika terjadi Perang Teluk 1992, PBB turun tangan meskipun akhirnya gagal. Dari kegagalan ini, tentara ”sekutu” di bawah pimpinan AS, atas nama PBB, melakukan tindakan tegas yang mengakibatkan pecahnya perang. Setelah kekalahan Irak, sekutu yang juga masih mengatasnamakan lembaga dunia itu, menetapkan syarat-syarat bahkan tindakan-tindakan yang dinilai oleh sementara pihak sebagai telah melampaui batas kewajaran dan keadilan.
Bukan sisi politis atau militer yang ingin diangkat di sini, bukan pula perselisihan antara Irak dan Amerika, apalagi antara pribadi Bush dan Saddam. Yang ingin saya angkat adalah nilai-nilai Al-Quran yang berkaitan dengan keadilan yang diharapkan dapat menyinari sikap hidup kita, khususnya dalam menghadapi atau menilai sebuah kasus.
Apabila dua kelompok mukmin berselisih, maka lakukanlah ishlah (perdamaian) antara keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi (ambil tindakan tegas) terhadap yang membangkang, sehingga menerima ketetapan Allah (ishlah) (QS 49:9).[3]
Demikian sebagai ayat Al-Quran yang dapat dikatakan sejalan dengan sikap PBB (sekutu) terhadap Irak. Namun, ada lanjutan ayat ini yang perlu mendapat perhatian setiap pihak yang terlibat dalam perdamaian, apalagi yang mengambil sikap tegas.
Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.[4]
Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada lanjutan ayat ini dengan ”keharusan berlaku adil”. Karena, walaupun keadilan dituntut dalam setiap sikap sejak dari awal proses perdamaian, tetapi sikap itu lebih dibutuhkan lagi bagi para juru damai setelah mereka terlibat dalam tindakan yang tegas terhadap kelompok pembangkang. Sebab, dengan tindakan tersebut, besar kemungkinan ia pun mengalami kerugian, baik harta, jiwa, atau paling tidak-harga diri akibat ulah para pembangkang.
Keadilan seperti itulah yang seringkali kabur di celah aktivitas manusia walaupun dengan dalih mengupayakan perdamaian.

B.   Perumusan Masalah
Dari uraian diatas dapatlah diketahui bahwa pokok bahasan dalam makalah ini adalah tentang keadilan dan kemanusiaan menurut Al-Qur’an. Namun untuk memperjelas pembahasan, penulis formulasikan pokok bahasan tersebut ke dalam permasalahan sebaghai berikut :
  1. Bagaimana pengertian keadilan?
  2. Bagaimana konsep Al-Qur’an tentang keadilan dan kemanusiaan?

C.   Tujuan
Pembahasan makalah ini bertujuan untuk :
1.   Mengkaji dan mendalami pengertian yang benar tentang keadilan menurut Al-Qur’an.
2.   Mengkaji dan mendalami konsep keadilann dan kemanusiaan menurut Al-Qur’an.



B A B   II
P E M B A H A S A N

A.     Pengertian
Keadilan adalah kata jadian dari kata ”adil” yang terambil dari bahasa Arab ”’adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti ”sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.[5]
”Persamaan” yang merupakan makna asal kata ”adil” itulah yang menjadikan pelakunya ”tidak berpihak”. Dan pada dasarnya pula seorang yang adil ”berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu ”yang patut” lagi ”tidak sewenang-wenang”.[6]
Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan kata-kata al-’adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. ’Adl, yang berarti ”sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi ”persamaan”.[7]
Qisth arti asalnya adalah ”bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya ”persamaan”. Bukankah ”bagian” dapat saja diperoleh oleh satu pihak ? Karena itu, kat qisth lebih umum dari pada kata ’adl, dan karena itu pula ketika Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.[8] Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa’ (4):135, ”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri”.[9]
Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan, adalah ”alat untuk menimbang”. Namun dapat pula berarti ”keadilan”, karena bahasa seringkali menyebut ”alat” untuk makna ”hasil penggunaan alat itu”.[10]

B.      Konsep Keadilan dan Kemanusiaan Menurut Al-Qur’an
Judul bahasan ini mendahulukan kata keadilan daripada kemanusiaan. Memang, terjadi silang pendapat mengenai apa yang harus didahulukan, apakah kemanusiaan atau keadilan? Dari sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5) : 8, yang artinya : ”Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa”.[11]
Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya : (QS Al-A’raf (7): 96). Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.[12]
Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, ”Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh (71):10-12).[13]
Dari rangkaian ayat diatas terlihat bahwa keadilan akan mengantarkan kepada ketakwaan menghasilkan kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.
Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An’am (6): 152).[14]
Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (QS Al-Baqarah (2): 282).[15]
Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul –Rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid (57): 25).[16]
Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai ”perjanjian Ilahi” yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.
Allah berfirman, ”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia.”Dia (Ibrahim) berkata,”(Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku. ”Allah berfirman, ”Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim” (QS Al-Baqarah (2): 124).[17]
Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat diatas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa dalam alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan :
Dan langit ditegakkan dan dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman (55): 7).[18]
Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi.
Demikian halnya, keadilan harus pula dikedepankan dari pada kemanusiaan. Karena justru kemanusiaan itulah yang terkadang membuat suatu perbuatan menjadi tidak adil.
Sering kita mendengar kisah salah seorang sahabat yang menghadap kepada rasulullah, karena kelalaiannya sehingga ia melakukan hubungan seks dengan istrinya pada siang hari di bulan suci ramadhan. Terhadap pelanggaran itu, akhirnya sahabat trersebut akhirnya justru menerima gandum dari baitul mal. Tetapi pemberian gandum tersebut bukanlah karena rasa kemanusiaan rasulullah terhadap sahabat yang dengan jelas-jelas telah melakukan kesalahan. Melainkan karena Islam adalah agama yang paling adil dan paling sempurna. Yang kesempurnaan dan keadilannya itu, berupa hukuman yang setingkat dengan kemampuan pelaku.
Perlu diketahui pula, bahwa hukuman yang diberikan oleh rasulullah, diawali dengan perintah berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, kemudian memberi makan kepada 40 fakir miskin, setelah hukuman tingkat kedua tidak juga mampu, maka dihukum dengan perintah menghantarkan sebakul gandum kepada orang yang paling miskin di kampungnya. Dan ternyata sahabat si pelaku tadi, adalah satu-satunya penduduk yang paling miskin di kampungnya.
Dengan demikian, penerapan keadilan dalam Al-Qur’an merupakan tindakan yang harus diutamakan dari pada melakuklan pertimbangan kemanusiaan. Hal ini juga dapat dilihat dari konteks hadits qudsi yang artinya, ”Sayangilah orang yang berada di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu.[19]
Maksudnya adalah, dahulukan urusanmu dengan sesama manusia, selesaikan permasalahanmu dengan yang berada di bumi. Baru kemudian Tuhan akan memberikan berkah dan ampunan kepadamu. 



B A B   III
P E N U T U P

A.     Kesimpulan
Keadilan adalah kata jadian dari kata ”adil” yang terambil dari bahasa Arab ”’adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti ”sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. Namun dalam Al-Qur’an, kata adil diungkap antara lain dengan kata-kata al-’adl (persamaan), al-qisth (bagian yang wajar/ patut), dan al-mizan (timbangan/ alat pengukur).
Karena keadilan merupakan jalan terdekat menuju pada ketaqwaan, maka keadilan harus ditegakkan dan didahulukan dari pada kesejahteraan maupun kemanusiaan.

B.      Saran
Mengingat konsep keadilan dalam Al-Qur’an sangat luas cakupannya, maka untuk menghindari kesalahpahaman dan pengertian, disarankan kepada pembaca untuk tidak berpaku pada makalah ini, malinkan bisa lebih banyak lagi membaca referensi-referensi dalam thema sejenis.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji; Jakarta: 2003)

M. Quraish Shihab, Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: 1998)

………………………….., Wawasan Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: Cet. II, 1999)

………………………….., Al-Hikam Bacaan Muknin (Diterjemahkan dari kitab aslinya berjudul Al-Hikam oleh Syeh Ibnu Atha’), (tkp, CV. Bintang Pelajar, tt)



[1] M. Quraish Shihab, Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: 1998), hal. 346
[2] Ibid. hal. 347
[3] Ibid.
[4] Ibid. hal. 348
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: Cet. II, 1999), hal. 111
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji; Jakarta: 2003), hal. 144
[10] Op. Cit, hal. 112
[11] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op. Cit. hal. 159
[12] Ibid. hal. 237
[13] Ibid. hal. 979
[14] Ibid. hal. 214
[15] Ibid. hal. 70
[16] Ibid. hal. 904
[17] Ibid. hal. 32
[18] Ibid. hal. 885
[19] …………………….., Al-Hikam Bacaan Muknin (Diterjemahkan dari kitab aslinya berjudul Al-Hikam oleh Syeh Ibnu Atha’), (tkt, CV. Bintang Pelajar, tt), hal. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar