TENTANG KEADILAN DAN KEMANUSIAAN MENURUT AL-QUR’AN
B
A B I
P
E N D A H U L U A N
A. Latar
Belakang
Tidak dapat disangkal bahwa keadilan, dalam segala
aspeknya, merupakan dambaan setiap individu dan masyarakat. Karena itulah semua
agama mengajarkannya, bahkan memerintahkan manusia berlaku adil, meskipun
terhadap dirinya sendiri.
Ada yang berpandangan bahwa berbuat baik dengan jalan
mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan pihak lain atau
membalas kejahatan dengan kebaikan lebih tinggi nilainya daripada keadilan.
Pandangan ini benar dalam hubungan antarindividu, namun keliru dalam kehidupan
bermasyarakat.
Salah satu sila dari asas kehidupan bermasyarakat adalah
keadilan, sedangkan sikap berbuat baik yang melebihi keadilan-seperti berbuat
baik terhadap mereka yang bersalah- akan dapat menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat. Itulah sebabnya Nabi menolak pemberian maaf bagi
seorang pencuri setelah diajukan ke Pengadilan, walaupun pemilik harta yang
dicuri memaafkannya.”Seharusnya pemaafan
itu engkau berikan sebelum tertuduh diadili,”kata Nabi.[1]
Keadilan harus ditegakkan, kalau perlu dengan tindakan
tegas. Kitab Suci Al-Quran menggandengkan ”timbangan” (alat ukur yang adil)
dengan ”besi” yang digunakan sebagai senjata sebagai isyarat bahwa senjata
adalah salah satu cara atau alat untuk menegakkan keadilan (baca QS 57:25).[2]
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bertujuan
menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian, melakukan jasa-jasa baiknya di
banyak negara.sekadar sebagai contoh, kita sebut saja Irak dan Kamboja. Ketika
terjadi Perang Teluk 1992, PBB turun tangan meskipun akhirnya gagal. Dari
kegagalan ini, tentara ”sekutu” di bawah pimpinan AS, atas nama PBB, melakukan
tindakan tegas yang mengakibatkan pecahnya perang. Setelah kekalahan Irak,
sekutu yang juga masih mengatasnamakan lembaga dunia itu, menetapkan
syarat-syarat bahkan tindakan-tindakan yang dinilai oleh sementara pihak
sebagai telah melampaui batas kewajaran dan keadilan.
Bukan sisi politis atau militer yang ingin diangkat di
sini, bukan pula perselisihan antara Irak dan Amerika, apalagi antara pribadi
Bush dan Saddam. Yang ingin saya angkat adalah nilai-nilai Al-Quran yang
berkaitan dengan keadilan yang diharapkan dapat menyinari sikap hidup kita,
khususnya dalam menghadapi atau menilai sebuah kasus.
Apabila dua
kelompok mukmin berselisih, maka lakukanlah ishlah (perdamaian) antara keduanya. Bila salah satu dari kedua
kelompok itu membangkang, maka perangi (ambil tindakan tegas) terhadap yang membangkang, sehingga menerima
ketetapan Allah (ishlah) (QS 49:9).[3]
Demikian sebagai ayat Al-Quran yang dapat dikatakan
sejalan dengan sikap PBB (sekutu) terhadap Irak. Namun, ada lanjutan ayat ini
yang perlu mendapat perhatian setiap pihak yang terlibat dalam perdamaian,
apalagi yang mengambil sikap tegas.
Apabila ia
(kelompok yang membangkang itu) telah
kembali (taat) maka lakukanlah
perdamaian dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil.[4]
Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada
lanjutan ayat ini dengan ”keharusan berlaku adil”. Karena, walaupun keadilan
dituntut dalam setiap sikap sejak dari awal proses perdamaian, tetapi sikap itu
lebih dibutuhkan lagi bagi para juru damai setelah mereka terlibat dalam
tindakan yang tegas terhadap kelompok pembangkang. Sebab, dengan tindakan
tersebut, besar kemungkinan ia pun mengalami kerugian, baik harta, jiwa, atau
paling tidak-harga diri akibat ulah para pembangkang.
Keadilan seperti itulah yang seringkali kabur di celah
aktivitas manusia walaupun dengan dalih mengupayakan perdamaian.
B. Perumusan
Masalah
Dari uraian diatas dapatlah diketahui bahwa pokok
bahasan dalam makalah ini adalah tentang keadilan dan kemanusiaan menurut
Al-Qur’an. Namun
untuk memperjelas pembahasan, penulis formulasikan pokok bahasan tersebut ke
dalam permasalahan sebaghai berikut :
- Bagaimana pengertian keadilan?
- Bagaimana konsep Al-Qur’an tentang keadilan dan kemanusiaan?
C. Tujuan
Pembahasan makalah ini bertujuan
untuk :
1. Mengkaji
dan mendalami pengertian yang benar tentang keadilan menurut Al-Qur’an.
2. Mengkaji
dan mendalami konsep keadilann dan kemanusiaan menurut Al-Qur’an.
B A B II
P
E M B A H A S A N
A.
Pengertian
Keadilan adalah kata jadian dari kata ”adil” yang
terambil dari bahasa Arab ”’adl”.
Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti
”sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat
imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata ”adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak,
(2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.[5]
”Persamaan” yang merupakan makna asal kata ”adil” itulah
yang menjadikan pelakunya ”tidak berpihak”. Dan pada dasarnya pula seorang yang
adil ”berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah
sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu ”yang
patut” lagi ”tidak sewenang-wenang”.[6]
Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan
kata-kata al-’adl, al-qisth, al-mizan,
dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. ’Adl, yang berarti ”sama”, memberi kesan adanya dua pihak
atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi ”persamaan”.[7]
Qisth arti
asalnya adalah ”bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan
adanya ”persamaan”. Bukankah ”bagian” dapat saja diperoleh oleh satu pihak ?
Karena itu, kat qisth lebih umum dari pada kata ’adl, dan karena itu pula
ketika Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri,
kata qisth itulah yang digunakannya.[8] Perhatikan firman Allah
dalam surat Al-Nisa’ (4):135, ”Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi
saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri”.[9]
Mizan
berasal dari akar kata wazn yang
berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan, adalah ”alat untuk menimbang”.
Namun dapat pula berarti ”keadilan”, karena bahasa seringkali menyebut ”alat”
untuk makna ”hasil penggunaan alat itu”.[10]
B.
Konsep Keadilan dan Kemanusiaan
Menurut Al-Qur’an
Judul bahasan ini mendahulukan kata keadilan daripada kemanusiaan.
Memang, terjadi silang pendapat mengenai apa yang harus didahulukan, apakah kemanusiaan atau keadilan? Dari sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan
keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5) : 8, yang artinya : ”Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat
kepada takwa”.[11]
Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya : (QS Al-A’raf (7):
96). ”Jika sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi. (Tetapi)
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.[12]
Maka aku (Nuh)
katakan kepada mereka, ”Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah
Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat kepadamu, memperbanyak
harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh (71):10-12).[13]
Dari rangkaian ayat diatas terlihat bahwa keadilan akan
mengantarkan kepada ketakwaan menghasilkan kesejahteraan. Atas dasar
pertimbangan tersebut, maka pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang
keadilan.
Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang
berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri,
baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.
Dan apabila
kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat...! (QS
Al-An’am (6): 152).[14]
Dan hendaklah
ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (QS
Al-Baqarah (2): 282).[15]
Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.
Sesungguhnya
Kami telah mengutus Rasul –Rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid (57): 25).[16]
Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai ”perjanjian
Ilahi” yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan
keadilan.
Allah berfirman, ”Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia.”Dia
(Ibrahim) berkata,”(Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku.
”Allah berfirman, ”Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang
zalim” (QS Al-Baqarah (2): 124).[17]
Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat
diatas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau
perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa dalam alam raya ini
ditegakkan atas dasar keadilan :
Dan langit
ditegakkan dan dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan) (QS
Al-Rahman (55): 7).[18]
Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan
tentang keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari
nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat.
Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar
kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan
ukhrawi.
Demikian halnya, keadilan harus pula dikedepankan dari
pada kemanusiaan. Karena justru kemanusiaan itulah yang terkadang membuat suatu
perbuatan menjadi tidak adil.
Sering kita mendengar kisah salah seorang sahabat yang menghadap
kepada rasulullah, karena kelalaiannya sehingga ia melakukan hubungan seks
dengan istrinya pada siang hari di bulan suci ramadhan. Terhadap pelanggaran
itu, akhirnya sahabat trersebut akhirnya justru menerima gandum dari baitul
mal. Tetapi pemberian gandum tersebut bukanlah karena rasa kemanusiaan
rasulullah terhadap sahabat yang dengan jelas-jelas telah melakukan kesalahan.
Melainkan karena Islam adalah agama yang paling adil dan paling sempurna. Yang
kesempurnaan dan keadilannya itu, berupa hukuman yang setingkat dengan
kemampuan pelaku.
Perlu diketahui pula, bahwa hukuman yang diberikan oleh
rasulullah, diawali dengan perintah berpuasa selama 2 bulan berturut-turut,
kemudian memberi makan kepada 40 fakir miskin, setelah hukuman tingkat kedua
tidak juga mampu, maka dihukum dengan perintah menghantarkan sebakul gandum
kepada orang yang paling miskin di kampungnya. Dan ternyata sahabat si pelaku
tadi, adalah satu-satunya penduduk yang paling miskin di kampungnya.
Dengan demikian, penerapan keadilan dalam Al-Qur’an
merupakan tindakan yang harus diutamakan dari pada melakuklan pertimbangan
kemanusiaan. Hal ini juga dapat dilihat dari konteks hadits qudsi yang artinya,
”Sayangilah orang yang berada di bumi, maka yang di langit akan
menyayangimu.[19]
Maksudnya adalah, dahulukan urusanmu dengan sesama
manusia, selesaikan permasalahanmu dengan yang berada di bumi. Baru kemudian
Tuhan akan memberikan berkah dan ampunan kepadamu.
B A B III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Keadilan adalah kata jadian dari kata ”adil” yang
terambil dari bahasa Arab ”’adl”.
Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti
”sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat
imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata ”adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak,
(2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. Namun
dalam Al-Qur’an, kata adil diungkap antara lain dengan kata-kata al-’adl (persamaan), al-qisth (bagian yang wajar/ patut), dan
al-mizan (timbangan/ alat pengukur).
Karena keadilan merupakan jalan terdekat menuju pada
ketaqwaan, maka keadilan harus ditegakkan dan didahulukan dari pada
kesejahteraan maupun kemanusiaan.
B.
Saran
Mengingat konsep keadilan dalam
Al-Qur’an sangat luas cakupannya, maka untuk menghindari kesalahpahaman dan
pengertian, disarankan kepada pembaca untuk tidak berpaku pada makalah ini,
malinkan bisa lebih banyak lagi membaca referensi-referensi dalam thema
sejenis.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji;
Jakarta: 2003)
M.
Quraish Shihab, Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: 1998)
…………………………..,
Wawasan Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: Cet. II, 1999)
………………………….., Al-Hikam
Bacaan Muknin (Diterjemahkan dari kitab aslinya berjudul Al-Hikam oleh Syeh
Ibnu Atha’), (tkp, CV. Bintang Pelajar, tt)
[1] M. Quraish Shihab, Konsep
Keadilan dalam Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: 1998), hal. 346
[2] Ibid. hal. 347
[3] Ibid.
[4] Ibid. hal. 348
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, (Bandung; Mizan: Cet. II, 1999), hal. 111
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji; Jakarta: 2003), hal. 144
[10] Op. Cit, hal. 112
[11] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.
Cit. hal. 159
[12] Ibid. hal. 237
[13] Ibid. hal. 979
[14] Ibid. hal. 214
[15] Ibid. hal. 70
[16] Ibid. hal. 904
[17] Ibid. hal. 32
[18] Ibid. hal. 885
[19] …………………….., Al-Hikam Bacaan
Muknin (Diterjemahkan dari kitab aslinya berjudul Al-Hikam oleh Syeh Ibnu
Atha’), (tkt, CV. Bintang Pelajar, tt), hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar